Indonesia saat ini lagi mendapat ujian berat. Piala Dunia U20 yang akan digelar pada 20 Mei hingga 11 Juni 2023 bakal terancam batal. Pasalnya, Israel menjadi salah satu tim yang masuk kualifikasi dan siap berlaga di ajang kompetisi dunia sepak bola di bawah usia 20 tahun yang kali ini Indonesia memiliki kesempatan menjadi tuan rumah.
Kehadiran Israel dalam ajang ini memang menjadi kontroversi. Semenjak David Ben Gurion, Perdana Menteri pertama Israel mendeklarasikan kemerdekaan Israel pada tanggal 14 May 1948, Indonesia hingga detik ini tidak mengakui Israel sebagai sebuah negara bahkan menggolongkan nya sebagai organisasi teroris yang hendak menumpas rakyat Palestina. Namun, kali ini Indonesia berhadapan dengan persoalan yang sulit dan dilematis antara memilih FIFA atau Palestina.
Politik dalam bentuk apapun adalah insting yang by default sudah ada dalam diri manusia sejak lahir. Masalahnya ketika politik ini beririsan dengan masalah lain akan berubah menjadi malapetaka. Politik bercampur agama, ras dan budaya akan melahirkan politik identitas. Begitu juga ketika politik bercampur dengan olah raga, maka yang akan terjadi adalah runyam.
Campur aduk politik dan olah raga memang bukan pertama kali dialami FIFA ketika menggelar Piala Dunia U20 ;
- Tahun 1979 Uni Soviet dan beberapa negara blok timur pernah memboikot tuan rumah Jepang karena isu ekonomi dan politik.
- FIFA juga pernah memboikot tuan rumah Afrika Selatan karena kebijakan apartheid sehingga FIFA akhirnya memindahkan pertandingan ke Portugal.
- Piala Dunia U20 di Korea Selatan juga tercemar gara-gara Korea Utara menolak mengibarkan bendera dan lagu kebangsaan Korea Selatan dalam pertandingan pembuka.
Bila Indonesia Batalkan Piala Dunia U20

Aksi penolakan tim Israel Piala Dunia U20 di Indonesia belakangan semakin meluas. Beberapa daerah, seperti Bali dan Jawa Tengah misalnya, menolak menggelar pertandingan yang melibatkan tim sepak bola Israel. Piala Dunia U20 memang rencananya akan berlangsung di Jakarta, Bandung, Solo, Palembang, Bali dan Surabaya.
Pemerintah yang sudah menganggarkan dana 500 miliar rupiah lebih bahkan kabarnya Kemenpora berencana meminta anggaran tambahan hingga 3 triliun untuk perhelatan ini, tentu membuat Pemerintahan Jokowi pusing tujuh keliling. Masalahnya jika Piala Dunia U20 batal tidak hanya uang yang menguap namun masa depan persepakbolaan nasional menjadi taruhan.
Citra persepakbolaan kita saat ini memang tengah membaik. Pelatih Shin Tae Yong ternyata piawai membawa Timnas U20 Indonesia menunjukan taringnya di berbagai ajang internasional. Bahkan Timnas Garuda bisa mengalahkan tim peringkat atas FIFA. Tidak terbayang, jika Piala Dunia U20 batal berlangsung di Indonesia. Otomatis Indonesia juga tidak bisa ikut serta bertanding di ajang ini. Tentu hal ini yang menjadi kekhawatiran pecinta sepak bola Indonesia. Tim yang sedang bagus-bagusnya dan berharap bisa memperbaiki citra sepak bola nasional justru harus menelan pil pahit gagal unjuk gigi dalam ajang bergengsi Piala Dunia U20.
Suka tidak suka, Indonesia sebagai tuan rumah sepertinya harus menerima kehadiran Timnas Israel. Jika tidak, Indonesia akan melanggar statuta FIFA tentang non diskriminasi yang sanksinya tidak main-main :
- FIFA bisa membekukan keanggotaan Indonesia atau PSSI. Praktis Indonesia tidak bisa mengikuti ajang internasional apapun, termasuk Sea Games.
- FIFA juga bisa mengenakan denda terhadap Indonesia.
- Nama Indonesia juga akan tercoret sebagai kandidat Piala Dunia 2034
- Bahkan federasi olah raga dunia bisa mempertimbangkan Indonesia untuk menjadi tuan rumah Olimpiade atau olah raga berskala Internasional.
- Dan belum lagi citra Indonesia di mata negara lain sebagai negara yang dianggap diskriminatif dan memulihkannya membutuhkan waktu lama.
Sejatinya olah raga merupakan pelampiasan untuk menyalurkan nafsu atau insting manusia untuk saling menaklukan. Ketika pertama digelar di Yunani pada 776 – 393 SM, Olimpiade atau Olympia merupakan ajang mempromosikan perdamaian yang ketika seringkali berkecamuk perang. Olah raga seolah menjadi oase agar para piohak yang bertikai beristirahat sejenak dengan berkompetisi olah raga di wilayah yang netral. Piere de Courbetin, pendiri Olimpiade moderen lalu melanjutkan semangat tersebut. Courbetin berharap ajang olah raga akan mempertemukan negara-negara dan menanggalkan segala perbedaan dan berkompetisi secara sehat dan sportif.
Indonesia seharusnya memanfaatkan semangat dan kesempatan ini dan bukan malah meresponnya secara emosional dan diskriminatif. Bayangkan bila Indonesia mengalami hal yang sama ketika suatu saat tuan rumah negara lain menolak kehadiran Indonesia dalam event serupa karena isu Papua Merdeka. Kondisi tersebut tentu akan menyakitkan perasaan para pemain yang notabene tidak berpolitik.
Penyelesaian persoalan Israel – Palestina seharusnya melalui jalur politik dan diplomasi. Indonesia sejak awal tetap konsisten dengan tegas mendukung kemerdekaan Palestina dan mengutuk aksi kekerasaan Israel hingga detik ini. Indonesia sudah memperjuangkan sikap ini sejak tahun 1944 dan tidak berubah walaupun kita tidak tahu hingga kapan konflik Palestina – Israel akan berakhir?
Bila Indonesia gagal menggelar Piala Dunia U20 sekali lagi jelas akan merugikan Indonesia dari sisi mana pun. FIFA bisa saja menunjuk negara lain untuk menggelar pertandingan Piala Dunia U20 dan kita akhirnya hanya menjadi penonton. Nasib persepakbolaan kita juga akan semakin terpuruk setelah peristiwa Kanjuruhan yang menewaskan ratusan orang. Selain itu, Israel tentu akan bertepuk tangan. Tim mereka akan tetap bertanding kapanpun dan di manapun mengingat sudah tercatat 162 negara yang mengakui eksistensi Israel dan jumlahnya terus bertambah, termasuk dari beberapa negara di jazirah Arab yang perlahan mulai membuka hubungan diplomatik dan perdagangan. Ingat ! olah raga hanya mengenal perbedaan skill, kemampuan dan mental untuk menjadi juara, bukan perbedaan agama, ras dan politik.