
Sains sejak lahir berusaha mencari jawaban asal usul kehidupan dan mencoba mengungkap kelahirannya alam semesta dengan rumus matematika dan fisika yang rumit. Pengetahuan manusia juga menjelajah hingga ke alam terkecil, quantum, dengan hukum tersendiri untuk mencari asal usul materi dan alam semesta. Namun siapa kah kita? Apa itu manusia? Ini pertanyaan sulit yang belum sepenuhnya terjawab.
Pertanyaan siapa kita? menjadi hantu di benak para pemikir dan filsuf. Tidak ada jawaban yang pasti dan memuaskan. Kalangan gnostik atau agamis, mengatakan manusia adalah ciptaan Tuhan paling sempurna. Sebut saja para pengikut Hare Krishna, gerakan keagamaan Hindu. Mereka menyebutkan ” Dirimu adalah bukan tubuh mu”. Sebaliknya para pemikir Barat melihat manusia sebagai benda atau materi yang menempatkan manusia atau self sebagai “kesadaran”. Antropologi, salah satu ilmu yang mempelajari manusia juga menempatkan subjek manusia dari sudut kebudayaan. Pendeknya kita berhadapan dengan banyak jawaban yang tidak memuaskan tentang diri kita sendiri.
Begitu juga dengan Esensialisme. Mereka melihat manusia dengan beragam atribut, semisal Homo Economicus ( Manusia Ekonomi ), Homo Faber (Manusia pekerja), Homo Sapiens ( Manusia Bijak ) dan Homo Ludens (Manusia Pemain). Aliran ini, termasuk para sarjana beraliran Neo Darwinian yang mengkategorikan manusia berdasarkan karakter biologis, genetika dan evolusi psikologi maupun sosial biologis. Aristoteles adalah salah satu tokoh aliran ini yang mengatakan manusia adalah Zoon logon echon atau binatang yang memiliki akal.
Selain Aristoteles, Robert Ardrey ( 1908 – 1980 ), pemikir sekaligus seniman asal Amerika Serikat bahkan memberikan label kejam kepada manusia. Ia mengatakan manusia adalah Kera Pembunuh. Begitu juga Friedrich Nietzsche, filsuf eksistensialis yang menyamakan manusia dengan Virus Cacar yang menjangkit dan merusak bumi. Masih banyak para tokoh Esensialisme, seperti ahli genetika, Richard Dawkins atau La Mattrie yang hanya melihat manusia tidak lebih dari mesin biologis yang bergerak tanpa nyawa atau roh.

Menarik menyimak sudut padang para pemikir esensialisme ini. Bagi mereka, manusia adalah makhluk mekanis yang terdiri dari struktur tubuh, anatomi, genetik hingga otak. Mereka mengabaikan bahwa manusia juga makhluk simbolik. Ia memiliki kesadaran dan identitas. Manusia juga bisa bercermin terhadap dirinya sendiri. Selain itu, manusia juga bisa berimajinasi, menggunakan bahasa dan angka. Manusia juga bersosialisasi hingga mengembangkan kebudayaan dan peradaban.
Homo Duplex
Manusia pada intinya adalah multidimensi. Ia tidak hanya makhluk biologis yang bergerak berdasarkan insting dan kemampuan berfikir. Manusia juga merupakan makhluk yang tidak bisa hidup tanpa kelompoknya. Di luar kelompok atau komunitas, manusia akan mati, karena dia bukan makhluk penyendiri.
Emile Durkheim menyebutnya dengan Homo Duplex. Manusia itu ganda. Ada dua sisi yang tidak terpisah. Manusia sebagai organisme dan manusia sebagai makhluk sosial. Menurut Durkheim manusia adalah makhluk intelek dan bermoral namun di sisi lain manusia lahir dari alam dan tidak terpisahkan.
Edmund Husserl, Erich Fromm dan Lewis Mumford mengatakan, melalui kesadarannya, manusia akhirnya melepaskan diri dari alam. Dengan kesadarannya, manusia mengembangkan bahasa, kebudayaan dan peradaban. Raymond Tallis, salah satu filsuf sekaligus sastrawan asal Inggris, menjulukinya sebagai “Makhluk Eksplisit ” atau Cicero yang menjabarkan manusia sebagai “sifat kedua atau second nature“
Sebuah ilustrasi menarik bila kita ke Vatikan, kita akan menyaksikan lukisan menakjubkan karya Raphael. Raphael melukiskan dua filsuf Yunani, Plato dan Aristoteles. Plato menunjukan jari telunjuk yang mengarah ke atas. Sebaliknya, Aristoteles mengarahkan tangannya ke bawah, ke tanah dan seolah Aristoteles mengatakan kepada Plato “Berpijak lah ke bumi ! Plato”
Dualime manusia inilah yang ingin digambarkan Raphael. Manusia selalu berada pada dua sisi yang tidak terpisah. Dia bukan hanya organisme, seperti makhluk lainnya, namun ia juga makhluk istimewa. Dualisme ini juga tertanam di otak manusia. Otak manusia terbagi dua, yakni otak kanan yang bertanggung jawab terhadap imajinasi, dan visualisasi bahkan seni. Sementara otak kiri, bertanggung jawab terhadap bahasa, komunikasi dan analisa.
Dengan kemampuan manusia bermasyarakat dan mengembangkan diri, kita bisa mendapatkan gambaran atau dimensi lain. Manusia tidak sekedar binatang berakal sebagaimana yang disebutkan Aristoteles, namun ia mampu berkembang da bermasyarakat hingga menciptakan kebudayaan serta tatanan moral yang rumit dibandingkan makhluk lainnya.
Ontologi Tradik
Namun ada sesuatu yang hilang bila kita melihat manusia hanya dari dua sisi, organisme dan makhluk sosial. Bagi Immanuel Kant, kedua hal tersebut di atas belum cukup. Filsuf dengan nama dan reputasi besar ini mengatakan manusia itu unik, bahkan sesama manusia memiliki perbedaan secara personalitas. Kant yang juga mempelajari antropologi selama 20 tahun mengatakan untuk memahami manusia kita harus melihatnya dari tiga sisi ini.
- Manusia itu spesies, seperti makhluk hidup lainnya di bumi, namun diberikan akal pikiran.
- Manusia sebagai makhluk yang unik atau unique self dan
- Manusia adalah makhluk sosial dan menjadi bagian dari komunitas atau kelompok.
Kant melihat ketiga kategori ini sebagai proses yang dilalui manusia. Manusia mengalami proses evolusi secara biologis seperti makhluk hidup lainnya atau Pilogenetik. Kemudian, ontogenetik, yakni manusia juga memiliki perjalanan hidupnya sendiri yang khas dan berbeda satu sama lain dan terakhir Sosial Historis yakni manusia berada dalam lingkup sosial dan kultural.
Kant tidak melihat manusia hanya satu sisi saja. Tidak seperti para pengikut Neo Darwinian yang cenderung melihat manusia sebagai spesies atau organisme dan melihatnya dengan kaca mata genetika atau biologi. Manusia juga buka semata-mata sebuah fenomenologi, unik atau subjektif atau manusia bukan semata – mata makhluk sosial seperti yang dikatakan Claude Levi Strauss atau Louis Althusser. Menurut mereka, manusia tanpa orang lain tidak akan ada. Bahkan, kemampuan kognitif atau berfikir manusia ditentukan oleh faktor sosial-kultur.
Apakah kita puas dengan jawaban Kant? Ontologi Triadik Kant tentang manusia ini untuk sementara mengakhiri perdebatan di antara kaum dualisme dan Esensialisme. Filsafat dan pemikiran terus berkembang selaras waktu dan pertanyaan tentang manusia tidak akan ada jawaban yang pasti dan mutlak. Selama manusia hidup, pertanyaan tentang manusia akan terus ada.