Jangan mengumpat takdir ! — Epictitus, salah seorang filsuf Yunani yang hidup antara 50 – 135 masehi mengatakan tugas paling penting bagi manusia agar bisa hidup lebih tenang dan bahagia adalah mampu mengubah sesuatu yang bisa berubah dan sesuatu yang harus pasrah karena memang sudah suratan takdir.
Epictitus menulisnya seperti ini:
“Tugas utama dalam hidup adalah sederhana : Menentukan dan memisahkan masalah sehingga saya secara jelas mengetahui mana yang bisa saya kendalikan dan mana yang tidak bisa saya kendalikan. Lalu, soal baik dan buruknya? ? Tidak ada hubungannya dengan pengaruh dari luar, melainkan pada pilihan dari diri saya sendiri…”
Anda akan sia-sia mengumpat operator penerbangan ketika pesawat yang akan anda naiki tiba-tiba tertunda keberangkatannya karena ada gangguan cuaca atau badai. Umpatan anda tidak akan mengubah kondisi karena alam sudah menakdirkan cuaca dan perubahannya bisa terjadi sewaktu-waktu.
Stoik atau ajaran bijak dari Epictitus pada intinya ingin mengajak kita untuk menerima keadaan yang sudah pasti dan tidak memaksakan pikiran dan emosi untuk sesuatu yang sudah menjadi takdir alam dan di luar kehendak manusia.
Manusia ketika hidup dihadapi berbagai masalah. Ketika mengalami kesulitan, biasanya kita mencoba melawan dan ingin mengubahnya seraya berharap apa yang kita inginkan. Menurut Epictitus inilah, kesalahan yang sering dilakukan manusia.
Epictitus mengingatkan kita bahwa kehidupan adalah netral dan tidak memperdulikan kita. Peristiwa apapun yang terjadi secara moral tidak ada yang salah dan benar. Manusia lah yang menilai baik dan buruknya peristiwa. Sesederhana itu pemikiran Epictitus, namun masih banyak orang belum memahaminya dan kerap mengabaikannya.
Dikotomi Kontrol
Jargon seperti Alam atau Tuhan sedang marah, Ibu Pertiwi Menangis dan sebagainya kerap terungkap ketika manusia menghadapi bencana alam. Bukankah musibah tersebut akibat ulah manusia ? Manusia yang menilai? Memberi makna?
Kondisi tersebut di atas di luar kehendak manusia. Kita tidak punya kekuasaan untuk mengubahnya. Ketika musibah memilukan terjadi, janganlah larut dalam duka yang berlebihan, karena ketika kita bersedih saat ini, suatu saat kita akan tertawa dan begitu seterusnya. Kesehatan, rejeki, reputasi, kekuasaan serta kehidupan dan kematian adalah kondisi dimana manusia tidak bisa mengaturnya dan berkompromi. Biarkan kondisi tersebut terjadi dan mengalir.
Namun di sisi lain manusia seharusnya fokus pada suatu hal yang bisa dikendalikan, seperti keinginan, nilai nilai dalam kehidupan, keputusan dan tingkah laku kita.
“ Kebahagiaan dan kebebasan dimulai dari pemahaman yang jernih tentang sesuatu yang bisa kita kendalikan dan sesuatu yang di luar kendali kita” – Epictitus
Manusia Absolut Bisa Kendali Diri
Sebagian besar manusia lupa bahwa ia memiliki kekuasaan absolut untuk mengendalikan diri sendiri, alam pikirannya dan mengambil sikap atau bereaksi dengan situasi di sekitar. Kita bisa bebas dari kecanduan alkohol, rokok dan pornografi. Bisa menguasai diri kita untuk tidak menimbun harta kekayaan dan hidup sederhana. Kita bisa mengubah diri untuk tidak menjadi pendendam dan bersikap pemaaf. Kita mengurangi berat badan asal sungguh berniat dan mau mengatur pola makan dan istirahat dan banyak lagi.
Epictitus dalam catatannya berjudul Enchridion menyebutnya dengan istilah dikotomi kontrol. Jika manusia bisa mengendalikan ini, maka hidupnya akan lebih bahagia. Ia tidak larut dalam kesedihan ketika kerabat atau keluarganya meninggal, karena kematian adalah takdir yang tidak kenal kompromi. Manusia juga bisa mengendalikan amarahnya, mengatur hidupnya agar lebih baik dengan mengubah cara berfikir dan pandangannya terhadap orang lain demi untuk menghindari permusuhan dan pertikaian.
Dikotomi kontrol ini mengajarkan manusia menggunakan akal sehat dalam menjalani hidup yang lebih baik. Menurut Epictitus, akal pikiran inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Akal pikiran adalah berkah atau gift dan jika bisa memanfaatkan dengan baik dan benar, maka akan sangat berguna untuk mengatasi masalah kehidupan.