Kenapa kita mengidolakan seseorang? Dalam pemilu yang baru saja usai ada yang menarik, yakni munculnya fanatisme terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Di media sosial, kita melihat para pendukung 01, Anies Baswedan begitu fanatik mengelu-elukan bahkan memuja Anies sebagai sosok yang sempurna, adil, intelek dan agamis. Begitu juga dengan pasangan 02, khususnya Prabowo Subianto, para pendukungnya seolah memandang sosok yang satu ini sempurna dan patriotis serta pemaaf.

Emosional
Fanatisme para pendukung terhadap calon presiden nya adalah gejala yang tidak rasional. Ibarat kaca mata kuda, mereka tidak melihat kelebihan atau kekurangan pasangan lain, kecuali calonnya yang mereka unggulkan. Sikap emosional ini sangat berbahaya karena para pendukung fanatik ini mudah digiring dan bahkan tidak jarang bertikai dengan pendukung pasangan lain.
Saya juga terheran-heran, karena ternyata sikap emosional ini tidak hanya menjangkiti massa pendukung yang notabene sebagian besar kalangan masyarakat bawah dengan tingkat pendidikan yang rendah. Kaum terdidik atau elit juga terjebak dengan perdebatan keras dan saling serang di sejumlah media membela capres pilihannya.
Teringat dengan seorang nenek yang begitu semangat mengidolakan salah satu calon presiden. Sosoknya menjadi viral di media sosial. Saking semangatnya, wanita ini seolah tidak menyadari perilakunya menjadi bahan olokan – olokan di media sosial. Pertanyaannya, kenapa para pendukung capres dalam pemilu sangat fanatik dan emosional ?
Fenomena Anies
Sigmund Freud, seorang ahli psikoanalitik yang meneliti struktur alam bawah sadar manusia mengatakan setiap orang mengalami proses identifikasi, yakni proses mengasimiliasi sifat dan kualitas seseorang atau kelompok dan menjadi bagian dari dirinya.
Ketika kita kecil atau anak-anak, kita pasti akan meniru tingkah laku dan karakter dari orang tua. Ketika besar, proses psikologi ini tidak hilang melainkan berlanjut dengan mengidentifikasi diri dengan orang lain atau kelompok di luar keluarga. Proses identifikasi ini ( bukan imitasi ) bertujuan agar seseorang bisa lebih percaya diri di masyarakat, menjalin ikatan sosial serta mengadopsi nilai dan norma tertentu.
Proses identifikasi inilah yang terjadi ketika pemilu berlangsung. Para pendukung begitu fanatik dan emosional mengidentifikasi diri mereka dengan para capres. Anies misalnya, dianggap mewakili Islam atau norma dan nilai tertentu. Fanatisme ini terlihat jelas pada sebagian besar pendukung Anies. Anies juga dianggap simbol dari ideologi perlawanan dan memiliki karakter dan kualitas intelektual yang mumpuni. Sementara untuk capres lainnya, mereka menutup mata. Padahal secara objektif, Prabowo dan Ganjar juga memiliki kualitas yang sama. Bagi pendukung Anies, capres 01 ini adalah Ratu Adil yang bisa membawa Indonesia keluar dari berbagai masalah. Saat Anies dan pasangannya Muhaimin kalah, mereka sulit menerima kenyataan tersebut
Identifikasi Berlebihan
Proses identifikasi ini menurut Freud adalah normal dan sangat penting dalam sosialisasi dan perkembangan manusia. Namun, bila proses identifikasi ini berlebihan akan sangat berbahaya bagi individu.
Dalam teori psikoanalisis, identifikasi berlebihan terhadap seseorang atau kelompok bisa membahayakan diri dan kesehatan jiwa. Individu seperti ini akan menerima mentah-mentah karakter, kepercayaan dan tingkah laku orang yang menjadi idolanya.
Ciri-ciri identifikasi berlebih antara lain :
- Idealisasi : Menjadikan capres pilihannya sebagai sosok yang sempurna dan tidak ada cacat dan pantas memimpin negeri ini.
- Loyalitas Buta : Pendukungnya akan bersikap sangat loyal dan tidak lagi kritis terhadap kebijakan -kebijakannya bila terpilih. Sebaliknya, terhadap lawan mereka sangat kritis dan akan menghancurkan karakternya sebisa mungkin.
- Emosional : Sikap ini terlihat jelas ketika masa kampanye. Para pendukung ktiga pasangan capres tidak bisa mengendalikan emosi. Mereka saling serang dan ejek baik di lapangan maupun media sosial.
- Kehilangan Jati Diri : Dalam kasus tertentu, para pendukung capres bisa kehilangan identitas diri dan tidak merdeka. Kondisi ini benar-benar membutakan si pendukung dan dia tidak lagi merdeka melainkan hanya menjadi boneka yang dikendalikan sang tokoh idolanya.
Kasus Adolf Hitler, Kanselir Jerman adalah contoh, bagaimana lolyalitas buta membawa rakyat dan negeri ini dalam kehancuran Perang Dunia kedua. Hitler tampil mempesona dan karismatik. Retorikanya menyihir para pendukungnya sehingga mereka tidak menyadari telah memilih sosok pemimpin brutal dan mengerikan.
Pemilih Rasional
Menyedihkannya, jumlah pemilih rasional di Indonesia saat ini sangat sedikit. Wasisto Raharjo Jati, dari Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional dalam penelitiannya dari tahun 2014-2019 menyebutkan jumlah pemilih rasional di Indonesia hanya berkisar 5 hingga 10 persen dari jumlah penduduk. Bayangkan, sekitar 90 persen pemilih menggunakan perasaanya ketika memilih.
Meningkatkan pendidikan akan sangat membantu masyarakat lebih kritis dan menggunakan rasio dalam memilih. Selain itu, media juga berperan penting untuk menyebarkan informasi yang sehat dan berimbang.