Kesetiaan kerap diuji dalam berpolitik. Ketika mantan gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dicalonkan menjadi bakal calon presiden pada Pilpres 2024, banyak orang mempertanyakan kesetiaanya. Pasalnya, Anies pernah berjanji tidak akan maju mencalonkan diri menjadi presiden, jika Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra juga mencalonkan diri menjadi presiden.
Sandiago Uno yang pernah mendampingi Anies sebagai wakil gubernur DKI Jakarta menyayangkan sikap Anies. Dalam wawancara di sebuah podcast, Sandi, panggilan akrabnya, mengatakan kalau untuk Prabowo dia tidak akan berfikir panjang. Artinya, kesetiaan Sandi mendukung Prabowo maju untuk ketiga kalinya sebagai calon presiden tidak perlu diragukan lagi.
Kenyataannya, belakangan pengusaha muda yang menjabat sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ini setali tiga uang dengan Anies. Ia juga akhirnya angkat kaki dari Partai Gerindra dan hijrah ke Partai Persatuan Pembangunan dan berharap dicalonkan menjadi calon wakil presiden mendampingi Ganjar Pranowo yang diusung PDIP.
Begitu juga Prabowo Subianto. Mantan Danjen Kopassus ini bahkan dianggap sebagai penghianat oleh sebagian pendukung fanatik, khususnya kelompok 212 yang berharap memperjuangkan mereka dalam Pilpres 2019. Prabowo justru berbalik arah dan mendukung Joko Widodo yang meriah kemenangan dalam Pilpres untuk kedua kali.
Dalam politik memang tidak berlaku hitam dan putih. Politik adalah seni meraih kekuasaan. Seorang ahli strategi perang asal Cina, Sun Tzu mengatakan, politik tidak lain merupakan bentuk dari sebuah perang yang membutuhkan taktik dan pemikiran untuk meraih tujuan atau kekuasaan. Bagi Sun Tzu, prinsip yang paling penting dalam berpolitik adalah mengenal kekuatan dan kelemahan lawan. Hal ini tentu berbeda dengan kesetiaan dan loyalitas yang bersifat kaku. Berpolitik harus luwes dan mampu beradaptasi saat situasi berubah. Jika tidak, maka lawan yang akan memanfaatkan keuntungan.
Para filsuf Stoik sekitar 2000 tahun lalu melihat kesetiaan atau fidelity sebagai sebuah virtue atau kebijaksanaan yang utama. Kesetiaan menurut Aristorteles dalam bukunya Nicomachean Ethics merupakan sikap yang perlu dikembangkan dan dipertahankan karena merupakan kekuatan untuk menjalin persahabatan.
Begitu juga Plato. Dalam bukunya Republik, ia mengatakan kesetiaan juga terkait dengan konsep keadilan dan cinta. Orang yang setia menurut Plato adalah orang yang menjalankan kewajiban dan tanggung jawab kepada orang lain sehingga kesetiakawanan terjalin baik.
Bagaimana pendapat anda melihat fenomena para bakal calon presiden kita dalam memegang kesetiaan atau komitmen? Ini yang menjadi pertanyaan yang harus dijawab masyarakat dan pemilih dalam Pilpres 2024. Mengacu pada kaum stoik seperti Aristoteles dan Plato, tentu berpolitik berbeda dengan persahabatan yang mengutamakan kesetiaan dan loyalitas. Kita harus ingat berpolitik justru sebaliknya akan mengubah persahabatan menjadi permusuhan atau kesetiaan menjadi penghianatan.
Kita kerap terjebak dengan salah satu figur pemimpin yang lantang berteriak tentang kesetiaan dan loyalitas, namun dalam praktiknya mereka tidak bisa mempertahankan sikap tersebut ketika terjun ke arena politik. Semua berubah. Sosok yang kagumi akhirnya luntur seketika bak cat basah yang tersiram air. Tekanan partai politik, konstituen dan opini publik bisa mempengaruhi seseorang untuk mengubah pikiran.
Lalu apa yang harus kita lakukan? Mulailah untuk jeli memilih pemimpin berdasarkan akal sehat bukan emosi semata. Kemandirian serta kesetiaan memegang prinsip menjadi faktor untuk memilih sosok tersebut. Bila tidak ada satupun calon yang sesuai dengan kriteria tersebut tidak ada salahnya untuk tidak memilih alias golput.
Jangan memilih pemimpin berdasarkan agama atau suku yang dianut. Sebaliknya, pilih berdasarkan visi dan semangat membangun bangsa. Lihat pendidikan dan rekam jejak apakah seluruh kebijakan diputuskan dengan berani, rasional, bijak, mandiri dan tidak berpihak kepada siapapun. Ingat, banyak calon, untuk mencapai tujuan, kerap menjual dirinya sendiri. Tidak jarang mereka memanfaatkan agama, suku dan faktor-faktor yang bisa membangkitkan emosional anda. Ingat ketika Adolf Hitler naik ke panggung politik dengan partai Nasionalis yang dipimpinnya. Ia berhasil menguasai emosi rakyat Jerman hingga akhirnya membawa Jerman ke jurang kehancuran.