Ketika Filsuf Menyeruput Kopi —- Kalau anda mengunjungi kota Paris Prancis, sempatkan datang ke Café de Flore. Café ini sangat terkenal dan bersejarah di Prancis.
Dahulu, di café ini, dua filsuf Prancis, Jean Paul Sartre dan Simone de Beauvoir kerap berjam – jam, berdiskusi sambil menyeruput kopi dan Café de Flore ini menjadi saksi percintaan mereka.
Café de Flor yang terletak di persimpangan jalan 172 Boulevard Saint Germain dan Saint Benoit juga menjadi saksi lahirnya aliran filsafat eksistensial yang dipelopori Heidegger dan Sartre.
Filsafat adalah seni berfikir tentang hidup dan pikiran itu sendiri. Filsuf biasa berdebat panjang soal aliran yang mereka pegang teguh. Pada abad ke 17 dan 18, periode pencerahan, coffee shop atau kafe banyak berdiri untuk menampung para filsuf yang kerap berkumpul dan berdebat tentang banyak hal.
Café dan Kebebasan Berfikir
Café Procope juga kerap menjadi tempat berdikusi Denis Diderot, Voltaire, Montesquieu, Le Rond d’Alembert dan Jean Jacques Rousseau. Di Café Procope ini, para pemikir berdebat tentang filsafat dan ilmu yang menjadi motor penggerak era pencerahan.
Karl Marx yang pernah menetap di Prancis juga tidak pernah melewatkan waktu untuk duduk dan menikmati kopi di Café de la Regence. Di café inilah, Karl Marx bertemu dengan Friedrich Engels pada bulan Agustus tahun 1944. Bisa kita bayangkan, kedua tokoh ini bertemu karena kesamaan visi dan pemikiran tentang manusia dan ideologi yang pada akhirnya melahirkan sosialisme yang menjadi salah satu fondasi lahirnya negara Komunis, Uni Soviet.
Sartre Pecandu Kopi Berat
Kopi tidak bisa dipisahkan dari filsafat. Bagi sebagian filsuf, salah satu kepastian dalam hidup ini adalah menikmati secangkir kopi. Kopi bisa menjernihkan pikiran dan membakar semangat mereka untuk terus berfikir dan mencari hakekat hidup. Mungkin tidak berlebihan untuk mengatakan banyak karya besar dari para filsuf yang lahir dari secangkir kopi dan rokok, termasuk Jean Paul Sartre.
Jean Paul Sartre adalah pecandu kopi berat. Kabarnya, Sartre bisa menegak 20 cangkir kopi dalam sehari untuk mengeluarkan ide-idenya tentang filsafat. Bahkan pada tahun 1948, Sartre menulis tentang kopi dengan judul Black Orpheus. Sartre juga menyisipkan secuil tentang kopi dalam novel terkenal berjudul Nausea. Dalam novel ini sang tokoh, Roquetin, kerap menyeruput kopi untuk meredakan rasa mualnya.
Voltaire Menegak 40 Cangkir Kopi Setiap Hari
Bagi Voltaire, novelis legenda asal Prancis, tanpa kopi menurutnya mungkin tidak akan ada revolusi Prancis. Revolusi yang melahirkan demokrasi yang kita nikmati saat ini. Penuklis yang terkenal dengan karyanya Candida kabarnya setiap hari menegak tidak kurang dari 40 cangkir kopi untuk mencari imajinasi dan menuliskannya di lembaran kertas.
Suatu ketika, Voltaire mengeluh sakit dan ia harus berkonsultasi ke dokter. Dokter menganjurkan agar Voltaire menghentikan kebiasaanya minum kopi terlalu banyak karena berbahaya. Lalu, Voltaire dengan enteng menjawab
“ Saya sudah 80 minum kopi dan bagaimana anda mengatakan kopi adalah kebiasaan yang buruk ? “
Aroma kopi juga meruntuhkan iman Immanuel Kant, filsuf asal Jerman yang namanya selalu terukir dalam sejarah dan pemikiran filsafat. Kant yang terkenal paling disiplin soal waktu mengakui ia tidak bisa menahan diri untuk tidak meminum kopi.
Thomas De Quincey dalam bukunya berjudul, “ The Last Day of Kant” mengatakan, Kant adalah sosok filsuf kerap tidak setuju dengan banyak hal dan pendapat. Ia selau mendebat dan mengkritik tanpa ampun, kecuali dua hal, Kopi dan Tembakau.
Iris Murdoch, novelis sekaligus filsuf mungkin tidak segila Kant dalam hal menegak kopi, namun wanita ini mengakui kenikmatan kopi yang bisa merangsang otak manusia.
Wittgenstein Tidak Punya Kata Jelaskan Kopi
Dalam novelnya, The Sea, Murdoch mengatakan, kopi itu nikmat jika diseduh dari biji kopi berkualitas namun jangan buat sendiri, biarkan orang lain yang membuat dan menyajikannya.
Bagi Ludwig Wittgenstein, filsuf asal Austria yang banyak menyumbangkan pemikiran filsafat di bidang bahasa dan logika mengaku tidak bisa melukiskan kenikmatan kopi :
“ Mendeskripsikan kopi? Kenapa tidak bisa dilakukan? Apakah tidak ada kata-kata untuk itu? Dan kenapa kita kekurangan kata-kata? Dan bagaimana kita mendapatkan ide agar kita bisa mencari cara untuk mendeskripsikan kopi. Pernahkah anda mengalami hal tersebut? Menggambarkan aroma kopi, tetapi gagal?” ( Philosophical Investigation Hal 610 )
Wittgenstein yang dihormati karena karyanya Tractus Logico – Philosophicus” menyerah untuk menjelaskan dengan bahasa dan kata – kata tentang kenikmatan kopi.
Kopi juga menjadi pilihan sulit bagi Soren Kiekergaard bagi Filsuf eksistensialis asal Denmark yang karyanya banyak mengajak pembaca mendekatkan diri pada sang Ilahi.
Kopi Tidak Membahayakan Pemikiran
Joakim Garff dalam otobiografi The Life of Kiekergaard menceritakan Kiekergaard menikmati kopi sama sulitnya dengan manusia mengambil keputusan dalam hidup manusia. Kiekrgaard mengatakan ketika saya menyeruput kopi, rasa mual datang dan menyerang lambung saya, tetapi ketika saya tidak minum kopi rasa mual di lambung tetap datang ( Joakim Garff – Biography of Keikergaard ). Lalu bagaimana saya harus memilih? Pilihan dilematis menurut Kiekergaard.
Kopi hingga saat ini adalah minuman paling kontroversial. Tidak seperti alkohol yang sudah jelas mendapat label berbahaya dan memabukan, sebaliknya, kopi dengan kandungan kafein yang kabarnya memiliki efek samping membahayakan, justru setiap orang bebas menikmatinya.
Terlepas dari itu, kopi memiliki dopamine yang merangsang otak untuk bekerja dan doping untuk penambah energi untuk mengatasi kantuk. Namun, bila berlebihan kopi sangar berbahaya bagi kesehatan.
Bagi filsuf di atas, mereka pasti menentang pendapat ilmiah dari para ahli kopi. Bagaimana mereka bisa menjelaskan bahaya kopi kepada Voltaire yang menegak puluhan cangkir kopi setiap hari, namun hingga usia 84 tahun ?
Café, Laptop dan Tumpulnya Kritik
Saat ini kafe menjamur di kota besar. Di Jakarta setiap kafe berdiri. Mulai dari ukuran ruko kecil atau paviliun hingga ada yang berlantai tiga dan harus antre untuk memesan satu cangkir kopi.
Pengunjungnya bermacam – macam, mulai dari keluarga hingga anak-anak muda yang duduk berjam-jam dengan laptop atau mengutakatik ponsel melihat status di media sosial. Konsepnya juga berbeda. Tidak hanya kopi hitam atau kopi susu, namun juga menjual jus alpukat dan soto ayam.
Konsep kopi di abad ke – 19 sudah jauh berbeda saat ini. Kafe dan kopi kini adalah bagian dari gaya hidup kaum urban. Bila kafe mulai menjamur di suatu daerah, maka perekenomian di daerah tersebut biasanya bergeliat dan moderen.
Kafe bukan lagi sekedar warung kopi dimana pengunjung duduk sambil berdiskusi, namun saat ini menjadi industri besar yang memberikan kontribusi pajak dan lapangan kerja besar bagi negara.
Suaana seperti Café De Flore atau Café Procope mungkin sudah tidak ada lagi. Sekarang adalah era Starbuck, Dunkin donut hingga kafe lokal yang mulai tumbuh dan ikut bersaing.
Apakah kafe sekarang melahirkan banyak tokoh dengan pemikiran baru? Sepertinya tidak. Kafe tidak berdiri sendiri. Pada abad 19, bangkitnya era mesin memicu lahirnya pemikiran baru yang menggantikan pemikiran lama. Kini, era intelejensia buatan (AI) dan media sosial dimana ruang diskusi tidak lagi di ruang kafe, namun di dunia maya.