Umurnya baru 15 tahun namun keberaniannya tidak terukur. Siang itu, di kedinginan Swat Valley, Pakistan, Malala Yousafzai, saat itu baru saja pulang dari sebuah sekolah dengan menumpang sebuah bus. Tiba-tiba seorang pria naik ke dalam bus dan meminta remaja ini menyebutkan namanya. Lalu, ia menembak kepala Malala dan dua rekan sekolahnya. Beruntung Malala dan dua rekannya selamat, kendati mereka harus menjalani perawatan yang lama akibat peluru yang bersarang di bagian kepala.
Malala sudah lama menjadi target kelompok Taliban yang menentang kesetaraan di bidang pendidikan bagi kaum wanita di Afghanistan. Ia merupakan seorang aktivis yang terusik melihat anak-anak perempuan di negerinya yang tidak bisa sekolah akibat kebijakan Islam garis keras yang dianut rejim Taliban. Gerilya Malala memperjuangkan kaumnya rupanya memicu kebencian kelompok Taliban yang ingin menghabisi nyawanya.
Peristiwa yang hampir merenggut nyawanya tersebut tidak menyurutkan keberanian Malala untuk memperjuangkan kesetaraan pendidikan di Afghanistan, bahkan nama Malala menjadi terkenal dan mendapat dukungan dari banyak negara hingga akhirnya gadis dari dusun terpencil di Afghanistan ini meraih penghargaan bergengsi, Nobel Perdamaian pada tahun 2014. Keberanian Malala Yousafzai telah menjadi simbol perjuangan kaum wanita.
Keberanian adalah kualitas yang membedakan seseorang dengan yang lain. Manusia menjadi unggul karena memiliki keberanian seperti yang dimiliki Malala. Untuk mencapai tujuan, Malala siap menghadapi rintangan berat, sekalipun nyawa menjadi taruhan.
Keberanian bukan takdir tetapi bisa dilatih.
Para filsuf kuno kerap menyamakan keberanian dengan mempertaruhkan nyawa di medan pertempuran. Namun Plato dalam bukunya Laches memperluas cakupan keberanian manusia, seperti menghadapi badai di laut, penyakit kronis mematikan, kemiskinan hingga keberanian memperjuangkan hak dan keadilan di masyarakat. Tetapi Plato mengatakan tidak semua orang yang menderita akibat kemiskinan misalnya bisa disebut pemberani. Menurut Plato keberanian bisa diperoleh dengan pendidikan, pengalaman dan latihan. Seseorang yang menerima takdir miskin, putus asa akibat vonis kematian dari dokter bukanlah seorang pemberani.
Sama dengan Plato, Aristoteles dalam bukunya Etika Nicomachean mengingatkan kita bahwa keberanian bisa dilatih terus menerus namun keberanian harus ditujukan kepada sesuatu yang agung dan positif. Keberanian Richard Elizer mengungkapkan kebenaran di depan pengadilan bisa dikatakan sebagai seorang pemberani menurut Aristoteles, karena Elizer berani menghadapi resiko dibenci bahkan dibunuh oleh para pendukung Ferdy Sambo. Sebaliknya keberanian seorang pencuri profesional yang tentu sudah terlatih tidak bisa disebut pemberani karena tujuannya merugikan.
Bagi Aristoteles, keberanian berada di posisi antara dua kutub yang ekstrim, penakut dan nekat. Seorang pemberani adalah mereka yang berani menghadapi bahaya tanpa rasa takut dan kenekatan. Bagi Aristoteles, tentu mengkalkulasi resiko sangat penting dan faktor ini yang membedakan dengan tindakan nekat. Aristoteles juga sepakat dengan Plato, bahwa keberanian bisa dilatih dan dipraktikan melalui kebiasaan. Jika seseorang kerap menghadapi mara bahaya, maka menurut Aristoteles dan Plato ia akan terbiasa dan menjadi pemberani. Bagi Aristoteles keberanian merupakan kebajikan utama dalam diri manusia karena dari keberanian ini akan lahir kebajikan-kebajikan lainnya.
Memilih pemimpin yang berani
Kita sebentar lagi akan menghadapi Pilpres 2023. Saat ini sudah banyak calon yang menawarkan diri menjadi presiden untuk periode 2023-2028. Tentu masyarakat bingung untuk memilih pemimpin Indonesia di masa akan datang. Mereka menawarkan program dan janji yang belum tentu mudah dilaksanakan.
Sebagai pemilih kita harus cerdas memilih pemimpin. Para filsuf Yunani sejak lama sudah memikirkan hal ini dan menganjurkan menggunakan akal sehat atau rasio. Kita kerap memilih pemimpin berdasarkan keterikatan emosional semata dan mengabaikan rasionalitas. Retorika berapi – api yang kerap mereka lontarkan saat kampanye kadang menenggelamkan akal sehat kita.
Aristoteles mengingatkan pemimpin harus memiliki kualitas yang melekat pada dirinya. Selain bijak, adil dan temperamen, pemimpin atau presiden harus berani. Aristoteles mengatakan seorang pemimpin harus memiliki keberanian dalam menghadapi resiko, tantangan dan mengambil keputusan di saat yang sulit.
Pemimpin yang ideal menurut murid Plato ini seorang pemikir yang mandiri dan tidak bisa dipengaruhi pendapat orang lain atau kelompoknya. Dia harus bernai mengambil keputusan seorang diri, tentu dengan pertimbangan dan masukan para penasehat. Aristoteles menekankan pemimpin harus menggunakan akal dan rasio dalam memutuskan sesuatu bukan berdasarkan emosi dan pendapat yang populer.
Saat ini banyak pemimpin kita lahir dari partai atau bahkan memiliki partai. Tidak jarang julukan “Petugas Partai” kerap disandang kepada seorang pemimpin yang hanya menjalankan dan mengambil keputusan berdasarkan kepentingan partai bukan negara atau rakyat yang dipimpin. Aristoteles mengingatkan bahwa seorang pemimpin harus selalu bersama rakyat.
“ Untuk menjadi pemimpin, berjalanlah bersama rakyat” – Aristoteles
Namun Aristoteles juga menyadari, pemimpin tidak selamanya bisa independen atau mandiri ketika harus mengambil keputusan. Maka dari itu, ia menganjurkan pemimpin untuk mengangkat para penasehat yang pintar dan ahli di bidangnya. Sayangnya, tidak jarang presiden memilih para penasehat yang bukan ahli di bidangnya. Sudah bukan rahasia, para menteri yang diangkat presiden berasal dari partai tertentu untuk kepentingan politik dan bukan objektif. Tanpa pertimbangan dan masukan para ahli di bidangnya, maka menurut Aristoteles akan sulit pemimpin untuk mencapai kemakmuran dan kepentingan rakyat yang dipimpinnya.