Sekelumit Masa Lalu di Blok M – Sudah hampir enam puluh tahun saya tinggal di sekitar kawasan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan. Selama saya menetap banyak sisi menarik yang luput dari pengamatan. Blok M tidak hanya surga belanja bagi atau tempat para ekspatriat asal Jepang dan Korea yang menyukai dugem hingga dini hari di klub – klub malam yang tersebar di kawasan ini, namun juga menjadi sumber rejeki bagi sekelompok kelas bawah yang berjuang siang malam untuk menghidupi keluarga mereka .
Salah satunya adalah Pak De. Bagi pria ini Blok M ibarat rumah kedua. Selama 30 tahun, Pak De hidup dengan mengumpulkan atau menampung barang-barang bekas atau sampah di salah satu sudut di kawasan ini. Saat itu, secara tidak sengaja saya bertemu dengan nya.
Ketika itu, senja, saya kebetulan melintas di salah satu jalan kecil di kawasan ini. Saat melewati bagian samping gedung Pasar Raya, secara spontan kamera kecil saya menjepret pria ini yang sedang asyik duduk memilah sampah plastik di ruangan sempit dan pengap di sisi gedung. Naluri saya sebagai wartawan terusik ingin mengabadikan pria yang seolah tidak peduli dengan tumpukan sampah yang bau menusuk hidung.
“ Heey ! Ngapain kau foto saya !
Waah ! ternyata pria setengah tua ini tersinggung rupanya.
Dengan wajah yang tidak senang dia menghardik saya. Harga dirinya terusik karena saya tidak meminta ijin terlebih dahulu sebelum memotret.
Di Jakarta memang sekarang ini tidak boleh sembarangan memotret orang. Kesadaran ini muncul karena media sosial mulai mengusik kehidupan pribadi orang. Memotret seseorang tanpa ijin urusannya bisa repot. Termasuk dengan si Pak De ini.
Puluhan tahun bekerja sebagai pencari berita, tentu tidak membuat nyali saya menciut..Saya langsung meminta maaf dan menghampirinya. Akhirnya, kami saling mengenal dan berujung pada perbincangan panjang.
30 Tahun mengais sampah di Blok M
Manusia pada intinya ingin dihargai. Harga diri inilah yang nilainya tidak terhitung. Maka tidak heran, demi harga diri ini, Fredi Sambo tega menghabisi nyawa ajudannya sendiri, Brigadir Joshua. Bila benar itu yang terjadi. Begitu juga mungkin yang dirasakan Pak De. Kendati sebagai pemulung, dia merasa memiliki harga diri. Puluhan tahun ia menekuni pekerjaan dan terbukti bisa menghidupi dia dan keluarganya. Pak De tinggal di ruangan sempit yang dibangun pengelola gedung Pasar Raya untuk barang rongsokan.
Setiap hari ini mengumpulkan barang – barang bekas, seperti plastik atau kardus. Di Jakarta, barang – barang seperti ini menjadi incaran para pemulung karena bernilai uang. “Itulah Jakarta, Dek. Kalau kita mau kerja keras dan tidak gengsi, bisa kok kita hidup” Kata Pak De.
Selama 30 tahun Pak De hidup menjadi pemulung di kawasan Blok M. Tidak heran ia bisa bercerita panjang lebar tentang kawasan ini. Ingatannya sekejap tumpah ruah ketika saya tanya seputar masa kejayaan Blok M. Dia bercerita bagaimana ketika Pasar Raya ini berdiri pada tahun 1981 dan seketika hidupnya sebagai pemulung makmur. Saya pun ikut hanyut dengan cerita Pak De tentang Blok M di masa keemasan. Setiap hari Pak De memilah sampah plastik dan saat itu saya melihat dia tengah memilah alat sisa bekas tes Covid 19, tanpa masker.
“ Di sini gak ada covid 19, takut sama saya” Katanya sambil berseloroh.
Alat bekas tes covid 19 adalah uang. Benar kata Pak De, bila mau bersabar, kerja keras dan tidak gengsi tumpukan sampah di Jakarta adalah uang.
Selama 30 tahun mengais sampah, Pak De mengaku tidak hanya bisa makan dan tidur nyenyak, namun ia juga bisa menyekolahkan ketiga anaknya. Ia tidak mau menyebut angka, namun ia mengaku bisa mendapat jutaan rupiah dari sampah – sampah ini.
Plastik dan kardus bekas ini ia jual kembali ke penampung di atasnya dengan hitung per kilogram. Pak De sendiri sebenarnya juga menampung sampah plastik atau kardus dari pemulung di bawahnya. Pekerjaan ia tekuni tanpa bosan karena memang sudah menjadi jalan hidupnya.
Sebulan sekali ia pulang menjenguk anak dan istrinya di Bekasi, Jawa Barat. Sehari-hari ia menghabiskan waktu di tempat kecil dan pengap bersama tumpukan kardus, plastik dan tikus yang banyak berkeliaran.
“ Bau gak? Dia bertanya kepada saya.
“ Gak kan? Dia jawab sendiri dengan pertanyaan baru.
Lebih dari satu jam mengobrol dengan pria ini, memang saya sudah tidak lagi mencium aroma busuk dari tumpukan sampah di ruang sempit ini. Bahkan saya duduk melantai bersama pria ini. Bergaul dengan sampah setiap hari rupanya membuat hidung Pak De kebal dengan aroma busuk sampah. Ia bahkan mengaku tidak pernah menderita sakit berat, kecuali influensa atau demam. Kendati kurus, namun tubuhnya terlihat masih kuat dan kekar di usianya yang sudah setengah abad.
Blok M sudah berubah
Kini menurutnya Blok M tidak seperti dulu. Banyak pertokoan yang tutup. Begitu juga Pasar Raya yang dahulu megah dan banyak pengunjungnya, kini sepi dan mati suri. Begitu juga dengan lapak atau pedagang kaki lima. Banyak yang angkat kaki atau pulang kampung karena tidak kuat menghadapi persaingan yang kejam di Jakarta.
Pak De hanya sebagian kecil orang yang masih bertahan mengais rejeki dari sampah di kawasan ini. Kini tidak banyak lagi uang yang ia dapat dari jualan sampah plastik dan kardus, karena sudah tidak banyak lagi sampah yang terbuang selaras dengan pengunjung yang semakin sepi.
“ Waah, ya gak tau ya sampe kapan? Sekuatnya nya aja Dek” Ujarnya sambil menghembuskan asap rokok keluar dari mulutnya.
“ Sekarang sepi. Suda banyak toko dan mall yang tutup, ya sampah jadi berkurang” Katanya.
Kenyataan memang berbicara begitu. Blok M sudah kalah bersaing dengan pusat perbelanjaan lain yang tumbuh subur di Jakarta. Di dunia ini yang tidak berubah hanya perubahan. Begitu kata Heralclitus, filsuf asal Yunani 2000 tahun yang lalu.
Perubahan ini dirasakan Pak De dan pekerja kelas bawah atau istilah kerennya working class man yang mengais rejeki di kawasan ini. Pak De sepertinya memang paham itu dan ia hanya tinggal menunggu waktu kapan kawasan ini akan tergusur.
Tidak terasa perbincangan kami berlangsung hingga larut malam. Wajah kesal Pak De ketika pertama kali saya potret kini berubah sumringah. Ia berbicara lantang diiringi dengan tertawa lepas. Tidak ada lagi wajah yang suram dan menakutkan. Ia menjadi akrab seperti kawan yang sudah lama saya kenal.
Dari Sampah Bisa Sekolahkan Anak
Benar kata orang, hargailah seseorang maka wujud orang itu akan hadir di depan kita. Bagi Pak de, uang memang penting namun bukan segalanya. Walaupun bekerja sebagai pemulung yang bagi sebagian orang dianggap sebelah mata, namun harga diri baginya nomor satu. Prinsip itu ia terapkan dalam diri dan keluarganya.
“ Saya gak mau minta dek, malah kalo saudara minta uang saya kasih walaupun kerjaan saya seperti ini” Kata Pak De dengan serius.
Sosok Pak De sebenarnya banyak kita temui di Jakarta. Mereka hidup dari sampah yang kita buang. Pekerjaan mereka sudah pasti dianggap rendah dan menjijikkan bagi sebagian orang. Namun di mata Pak de sampah adalah uang yang bisa menghidupi diri dan keluarganya.
Saya lebih menaruh hormat dengan Pak De dibanding orang lain yang hidup terlihat terhormat namun dengan hutang segunung atau hidup dengan merampas hak orang lain. Pak De adalah manusia yang hidup dengan prinsip. Baginya, pekerjaanya sebagai pemulung lebih terhormat daripada mereka para koruptor yang memakan uang rakyat.
Akhirnya saya harus pamit karena waktu sudah malam. Sebelum berpisah saya minta ijin memotret dirinya dan ia bersedia dan berdiri sambil tersenyum ramah.
Sebagai wartawan yang malang melintang bertemu beragam manusia, saya bisa katakan persahabatan atau pertemanan bisa datang kapan saja dengan cara yang unik dan tidak bisa kita tebak. Kami berjabatan tangan dan berharap bisa bertemu kembali bila usia mengijinkan.
Jakarta, 2020